Ahmad Sofyan 2B415859 1IC01 Pahlawan Nasional

Jenderal Besar Raden Soedirman adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia.

Lahir
Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916
Jabatan
Panglima Besar TKR/TNI
Meninggal\
Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950
Dimakamkan
Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta
Orangtua
Karsid Kartowirodji dan Siyem
Pendidikan Fomal
1. Sekolah Taman Siswa
2. HIK Muhammadiyah, Solo (tidak tamat)
Pendidikan Tentara
Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor
Pengalaman Pekerjaan
Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap
Pengalaman Organisasi
1. Kepanduan Hizbul Wathan
2. Anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas
3. Mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan
Jabatan di Militer
1. Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal, 12 November 1945
2. Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel
Komandan Batalyon di Kroya
Perjuangan
1. Merebut senjata pasukan Jepang dalam pertempuran di Banyumas, Jawa Tengah
2. Kampanye perang gerilya melawan pasukan NICA Belanda
3. Memimpin perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda dari bulan 4. November sampai Desember 1945
Tanda Penghormatan
1. Jenderal Besar (bintang lima)
2. Pahlawan Pembela Kemerdekaan
Kisah Singkat
Sudirman termasuk beruntung. Pasalnya untuk jaman itu, nggak banyak yang bisa bersekolah sampe tuntas. Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Guru Muhammadiyah di Solo, tapi nggak sampai tamat. Tapi beliau tetep menjadi guru di Muhammadiyah Cilacap.
Di masa pendudukan Jepang, Sudirman sangat memperhatikan masalah sosial. Salah satu buktinya adalah ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Pada jaman itu, nggak banyak yang ngerti tentang pentingnya koperasi. Selain itu, beliau juga menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Keresidenan Banyumas. Suatu posisi yang memungkinkannya untuk selalu bisa memberi lebih buat rakyat.
Karir militer Sudirman tergolong cepet. Pada masa itu pula Sudirman mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Kemudian ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Jasa pertama Sudirman setelah kemerdekaan ialah merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Panglima Divisi V Banyumas dengan pangkat kolonel. Bulan Desember 1945 ia memimpin pasukan TKR dalam pertempuran melawan Inggris di Ambarawa. Tanggal 12 Desember dilancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Akhirnya pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang. Cool!
Dalam Konferensi TKR tanggal 12 Nopember 1945 Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR. Lalu tanggal 18 Desember 1945 ia dilantik oleh Presiden dengan pangkat Jenderal. Sejak itu TKR tumbuh menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Lebih lengkap :
Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.
Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.
Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru)
Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat.
Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS
Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.
Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.
Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.
Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.
Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan
koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun.
Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai pahlawan Pembela Kemerdekaan
Muslim yang Taat
Ada yang sering lupa diceritain ama buku-buku sejarah, namun Hampir semua orang tau kalo Jendral Soedirman orang yang sholih dan taat beragama. Hingga oleh para anak buahnya biasa disapa Kajine, istilah Jawa untuk panggilan Pak Haji. Padahal beliau belum pernah ke Mekkah. Dalam perjalanan gerilya, setiap mampir di pedesaan atau kampung, Jendral Soedirman selalu menyelenggarakan pengajian. Tiap malam, walau ia tengah menderita penyakit paru-paru yang kronis, Jendral Soedirman selalu menunaikan solat tahajud. Jendral Soedirman dulunya berasal dari keluarga santri.

Bukti lain Jendral Soedirman deket ama perjuangan Islam adalah pada pertengahan tahun 1946, beliau mengunjungi laskar Hisbullah-Sabilillah Surakarta yang sedang mempersiapkan kembali maju ke medan perang di Alas Tuo dan Bugen. Waktu itu diadakan pertemuan di rumah Kyai H. Adnan di Tegalsari, Surakarta. Kedatangan sang jeneral besar kontan makin nambah semangat juang anggota Hisbullah-Sabilillah yang tengah bersiap berangkat ke medan perang. Jenderal Besar Soedirman mengawali kata sambutannya dengan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an surah Ash-Shaf ayat 10-12 yang kemudian diterjemahkannya sendiri: ‘Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang akan menyelematkanmu dari siksa yang pedih. Yaitu, kamu yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwamu…” (hal.92)
Sebagai Murobbi dan Dai
Jendral Sudirman mengenyam pendidikan di Sekolah Guru Muhammadiyah di Solo, meski tak sampai tamat. Namun karena pendidikannya termasuk tinggi, Sudriman bisa menjadi guru di Muhammadiyah Cilacap. Selain sebagai guru, ia juga aktif berdakwah sehingga namanya tersohor di Cilacap dan Banyumas. Sebagai aktifis Muhammadiyah, Sudirman muda aktif di Hizbul Wathon, kepanduan milik Muhammadiyah. Ternyata, di wadah ini bakat kemiliterannya menonjol. Karena hal itu, ia kemudian masuk seleksi pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor.
Ketika ia menjadi petinggi militer di Yogyakarta, ia tetap aktif mengikuti pengajian “Malam Selasa”, yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah di Kauman, berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Untuk menjaga hubungannya dengan laskar Islam, ia juga tidak segan-segan mendatangi markas mereka. Misalkan pada tahun 1946, ia mengunjungi laskar Hizbullah-Sabilillah Surakarta. Kedatangan sang Jenderal besar ini kontan menambah semangat juang anggota Hizbullah-Sabilillah yang tengah bersiap berangkat ke medan perang.
Mujahid Sejati
Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, Jenderal besar ini menyebarkan selebaran yang berisi seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda dengan mengutip salah satu hadits Nabi. “Insyaflah! Barangsiapa mati, padahal (sewaktu hidupnya) belum pernah ikut berperang (membela keadilan) bahkan hatinya tidak ada hasrat sedikitpun berperang, maka matinya di atas cabang kemunafikan.”
Jendral Sudirman juga selalu menanamkan kepada tiap anak buahnya sikap hidup “Hidup mulia atau mati syahid” (“Isy Kariimah Aumut Syahidan”) dalam setiap pidatonya. Ayat-ayat Qur’an idolanya adalah ayat-ayat Qur’an yang banyak mengandung kata “Jihad” seperti surah Ash-Shaff ayat 10 dan 11 serta surah al-Baqarah ayat 154 (hal.88). Jenderal Sudirman juga sering meneriakkan takbir “Allahu Akbar!” saat memimpin peperangan. \
Mengikuti Strategi Rosululloh
Strategi perang yang dilakukan Jendral Sudirman adalah gerilya, hal ini merupakan upaya mencontoh Rasulullah ketika hijrah ke Madinah. Dari taktik yang dipakai dapat dibaca bahwa Sudirman memahami taktik Rasulullah saat mengelabuhi orang kafir Quraisy. Saat berada di desa Karangnongko –setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame — Sudirman menganggap desa itu tidak aman. Ia memutuskan untuk meninggalkan desa itu dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah besarta para sahabatnya saat akan berhijrah.
Sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, Jendral Sudirman sedang sakit, tetapi ia menapik saran Presiden untuk tetap tinggal didalam kota. Meski sakit, Jendral Sudirman memimpin langsung gerilya. Bersama pasukannya, ia keluar masuk hutan, naik turun gunung guna menyerang pos-pos militer Belanda. Taktik gerilya itu ternyata melemahkan moral pasukan Belanda. Banyak yang putus asa dan merasa terancam keselamatannya. Sebab tanpa diduga, mereka mendapat serangan mendadak dari pasukan Jenderal Sudirman. Kurang lebih tujuh bulan ia mempimpin perang gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung sampai akhirnya Belanda hengkang dari Yogyakarta. Banyak penderitaan yang dialaminya terutama penyakitnya sering kambuh dan nggak tersedianya obat-obatan. Coba tuh, betapa lengkapnya kan perjuangan dan pengorbanan beliau ini.
Pulang dari medan gerilya, karena masih sakit, ia nggak dapat memimpin Angkatan Perang secara langsung, tetapi buah pemikirannya selalu dibutuhkan oleh Pemerintah.
Pengalima Besar Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang pada tanggal 29 Januari 1950 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bebas Ekspresi,..
Create your Brill-Mind Okeys !